Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) merupakan sebuah organisasi yang menghimpun cendekiawan Muslim di Indonesia. Pembentukan ICMI bukanlah kebetulan belaka, melainkan berhubungan erat dengan perubahan global dan regional pada akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an. Periode tersebut ditandai dengan berakhirnya Perang Dingin dan berkurangnya konflik ideologi.
Pada waktu yang bersamaan, muncul semangat kebangkitan Islam di belahan timur dunia, menjadikannya sebagai “ideologi peradaban” alternatif yang signifikan. Kebangkitan ini menjadi perhatian serius bagi Barat, yang merasa hegemoni mereka terancam oleh kemunculan Islam sebagai kekuatan peradaban baru.
Persepsi Barat mengenai potensi konflik antarperadaban timbul dari kekhawatiran akan kebangkitan Islam sebagai ancaman terhadap dominasi peradaban Barat. Kemajuan umat Islam didorong oleh ledakan jumlah intelektual di kalangan santri Indonesia, seiring dengan kebijakan dan program Orde Baru yang secara langsung atau tidak langsung melahirkan generasi santri yang terpelajar, modern, dan kosmopolitan. Generasi ini mulai memasuki birokrasi pemerintahan, yang sebelumnya didominasi oleh kelompok abangan dan non-Muslim, dan hal ini mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Dengan perubahan ini, mitos bahwa umat Islam Indonesia merupakan “mayoritas tetapi minoritas secara teknis” mulai memudar. Pendidikan yang diterima santri baik di dalam maupun luar kampus telah memperkuat mereka secara mental dan intelektual, menghasilkan critical mass yang responsif terhadap dinamika pembangunan serta memperkuat tradisi intelektual melalui seminar dan tulisan.
Selain itu, iklim politik yang semakin kondusif mendukung terjalinnya pemahaman yang lebih baik antara umat Islam dan komponen bangsa lainnya, termasuk birokrasi.
ICMI resmi didirikan pada 7 Desember 1990, setelah pertemuan cendekiawan Muslim di Malang pada 6-8 Desember 1990. Pada pertemuan tersebut, Baharuddin Jusuf Habibie terpilih sebagai ketua ICMI pertama.
Sejarah ICMI berawal dari diskusi di masjid kampus Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang pada Februari 1990, di mana sekelompok mahasiswa merasa prihatin dengan kondisi umat Islam yang terpecah dan polarisasi kepemimpinan. Mereka merencanakan simposium bertema “Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas” pada 29 September – 1 Oktober 1990. Mahasiswa Unibraw, termasuk Erik Salman, Ali Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya, dan M. Iqbal, menghubungi pembicara seperti Immaduddin Abdurrahim dan M. Dawam Rahardjo.
Gagasan untuk membentuk wadah nasional cendekiawan Muslim berkembang dari forum tersebut. Mahasiswa tersebut bersama Imaduddin Abdurrahim, M. Dawam Rahardjo, dan Syafi’i Anwar, kemudian meminta Prof. B.J. Habibie untuk memimpin organisasi tersebut. B.J. Habibie menyatakan kesediaannya sebagai pribadi, namun memerlukan izin Presiden Soeharto dan dukungan tertulis dari 49 cendekiawan Muslim.
Pada 27 September 1990, B.J. Habibie menginformasikan bahwa Presiden Soeharto menyetujui pencalonannya dan mengusulkan nama “Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia” (ICMI). Persiapan simposium bulan Desember 1990 diwarnai oleh isu mengenai kepemimpinan Habibie, namun komitmen kuat untuk mendirikan ICMI tetap ada.
Meskipun menghadapi beberapa tantangan, termasuk dari aparat keamanan, pada 7 Desember 1990 ICMI resmi dibentuk di Malang. Baharuddin Jusuf Habibie terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum ICMI yang pertama. Dalam sambutannya, Habibie menekankan bahwa ICMI tidak hanya bertujuan untuk memperhatikan umat Islam, tetapi juga berkomitmen untuk meningkatkan nasib seluruh bangsa Indonesia sebagai tugas utama.